Taat? Atau ikut-ikutan?


Kenapa bisa terjadi kader-kader yang tidak tahu/paham urutan-urutan proses menuju ketaatan dan ke tsiqohan? Keadaan seperti ini yang menjangkiti banyak kader PKS adalah karena (salah satu-nya) tumpul-nya sikap kritis, argumentatif, dan logis dalam pola pembinaan tarbiyah-nya. Pembinaan tarbiyah (setahu saya) lebih menekankan ke aspek 'ta’liful qulub' yang seringkali cenderung emosional.

Keadaan ini sadar atau tidak sadar, di inginkan atau tidak di inginkan, terpelihara dengan baik sehingga menghasilkan output yang secara pragmatis 'efesien'.Kenapa efesien dengan tanda petik? Karena dengan begitu semua informasi dari qiyadah ke kader bisa bergerak lancar tanpa reserve.

Model-model 'komando' tanpa reserve seperti ini seringkali di temui pada organisasi-organisasi seperti:

(1) Militer
(2) Gereja Katolik
(3) Partai Komunis
(4) Mafia

Adakah di antara 4 di atas ikhwah semua bisa temui peran argumentasi, logika dan sikap kritis? Tanpa bermaksud menyamakan PKS dengan 4 di atas, saya melihat bahwa ada potensi (besar atau kecil sangat relatif) bahwa qiyadah PKS memelihara keadaan "tsiqah dan taat buta" (yang mungkin menguntungkan) ini, yang bisa saja menuju keadaan-keadaan yang menjadi kultur 4 organisasi di atas. Saya tetap berharap PKS tidak menjadi urutan ke lima daftar tersebut.

Sebuah Kenangan

Tahun 2002, di hari itu seolah masih seperti kemarin… Bersenandung dan bernasyid bersama di halaman gedung DPRD. Bukan karena nasyidnya momen tersebut menjadi istimewa di ingatan ini. Bukan! Bukan karena itu! Tapi sebelum bersenandung ada beberapa quantum peristiwa yang cukup panjang di lalui.

Berminggu sebelumnya, saya bersama teman-teman harus membolos kuliah karena adanya “taklimat” untuk mengkritisi rejim yang berkuasa pada hari itu. Ada beberapa ikhwah yang masih menimbang dan agak keberatan ketika diajak berdemonstrasi. Salah satu contohnya akh Sarwin (FK angkatan 2000, sekarang lagi PTT di Luwu Utara). Beliau juga mengaji di Wahdah sehingga saya tidak menjadi tidak terlalu heran mengapa beliau memilih untuk tidak ikut demonstrasi.

Puncak dari rangkaian demonstrasi itu adalah ketika kami mengepung gedung DPRD Sul-Sel bersama dengan aliansi BEM se- Makassar serta teman-teman dari LMND, PMII, dan tentu saja KAMMI dari organisasi ekstra kampus. Akhirnya bentrok tidak terhindarkan, saya terperangkap dengan kawan-kawan dari LMND yang tawuran dengan polisi. Saat itu saya kebetulan lari ke sebelah kiri sedangkan ikhwah KAMMI semuanya lari ke sebelah kanan.

Beberapa kawan LMND ditangkap dan tidak ada satupun dari ikhwah KAMMI yang ditangkap. Karena faktanya, memang yang sengaja memprovokasi pada saat itu adalah teman-teman dari LMND. Setelah suasana sempat tegang, kami (ikhwah KAMMI) duduk-duduk di samping gedung DPRD dan mulai bersenandung nasyid.

Setelah saya perhatikan, saya baru sadar kalau ternyata di samping saya ada akh Sarwin. SubhanaLlah ternyata beliau juga ikut demonstrasi akhirnya. Ketika saya menoleh ke samping saya tersenyum dan diapun ikut tersenyum. Saya perhatikan lagi, beliau sedang serius membaca sebuah buku tipis.

Tanpa saya tanya beliau lalu berkata. “Bal, lihat ini…dikumpulan fatwa Syaikh Utsaimin di Bab tentang nyanyian..” Disodorkannya buku itu kepada saya. Sayapun membacanya, disitu termuat tentang fatwa syaikh Utsaimin tentang senandung/nasyid dan sejenisnya. Setelah berdialog lebih lanjut ternyata akh Sarwin sudah meneliti dalil dan fatwa tentang demonstrasi.

Itulah gambaran tentang bagaimana seorang kader halaqah berusaha untuk tidak taklid buta terhadap apa yang ditaklimatkan kepadanya. Kapan itu? Belum terlalu lama, 5 tahun yang lalu. Sekarang apa yang terjadi dengan kader halaqah? Setelah dakwah ikhwan sudah masuk ke era keterbukaan sejak tahun 1999? Di tahun 2008 ini? Masih adakah ghirah untuk mencari tahu? Ataukah sekarang budaya ini sudah tidak popular lagi di kalangan kader halaqah?

Halaqah Dakwah di Indonesia
Halaqah atau/usrah buat kader inti yang digagas oleh Syaikh (insyaAllah) Asy Syahid Hasan Al Banna diinspirasi oleh interaksi beliau dengan Tarekat Hashafiyah sewaktu beliau masih di madrasah tsanawiyah/aliyah (baca : memoir Hasan Al Banna). Istilah Murobbi dan Mutarabbi adalah sebuah istilah yang hanya ditemukan di dalam kalangan tasawuf tersebut.

Dalam halaqah (utamanya di Indonesia) semakin ke depan ghirah keilmuan semakin terkikis oleh agenda2 politik. Yang menjadi andalan dalam menjalankan roda halaqah “hanyalah” ikatan hati dan sejenisnya. Sehingga cenderung kader yang terbentuk adalah kader yang taklid buta, ikut-ikutan, modal ghirah doang, pokoknya semangat membela PKS tercinta, logika gak usah dipake, nuntut ilmu cukup pas halaqah mingguan, itu juga kalau sempat. Tradisi diskusi keilmuan diminimalkan, yang menjadi sumber hanya murobbi.

Kebijakan-kebijakan murobbi dianggap saklek/fix kemudian binaan didoktrin begitu saja agar sami'na wa ato'na saja. Tidak boleh dipertanyakan, Tidak pernah dibeberkan tuntas konsiderannya, apa nash atau dalil yang digunakan. Binaannya manut saja, mereka percaya 100 %, usaha untuk paham nomor terakhir.

Kalau seorang kader kritis sedikit saja maka apa respon apa yang akan didapatkannya? (saya pernah mengalaminya) Ditanya berapa lama halaqah? Binaan siapa? Atau kalau tidak ditanya seperti itu dicatat baik-baik dalam memori dan akan dijegal seluruh kepentingan-kepentingannya.

Taat, Faham, dan Tsiqoh
Padahal embahnya Ikhwanul Muslimin di dalam 10 rukun bai'ah-nya (arkanul baiah) Imam Al Banna rahimahullah mendefinisikan rukun faham sebagai yang pertama, lalu Tsiqoh pada tempat terakhir Jadi sebelum tsiqoh itu kita harus faham terlebih dahulu. Urutan arkanul baiah itu tidak sembarangan, Berkata Fadhilatussyaikh Yusuf Al Qaradhawy hafidzahullah : sebenarnya Hasan al-Banna benar-benar telah menyesuaikan pendahuluan urutan tersebut. Tidak syak lagi bahwa beliau adalah orang yang sangat faham tentang fiqih aulawiyat (prioritas). Beliau melanjutkan, musibah yang paling berbahaya menimpa manusia adalah kekeliruan dalam masalah diatas. Sehingga dipandangnya yang batil itu haq dan yang haq itu batil, yang makruf itu mungkar dan yang mungkar itu makruf, yang SUNNAH itu BID’AH dan BID’AH itu SUNNAH. (baca : Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam)

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menjelaskan di dalam Ilamul Muwaqiin, bab "Surat Umar bin Khattab dan Penjelasannya", sbb: Pernyataan Umar "pahamilah perkara yang diajukan kepadamu" menunjukkan bahwa pemahaman yang benar dan niat yang baik merupakan nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah kepada hambaNya. Bahkan tidak ada kenikmatan yang lebih berharga setelah Islam selain kedua hal tersebut. Karena keduanya merupakan pilar Islam dan landasannya. Seorang hamba yang memiliki pemahaman benar akan terhindar dari jalan orang-orang yang dimurkai Allah yang niatnya telah rusak dan jalan orang-orang sesat yang pemahamannya telah menyimpang.

Dalam hadits, Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam bab dan kitab yang sama (Ilamul Muwaqiin juz 1, dalam bab "Pendapat Para Imam Seputar Alat dan Syarat Fatwa") berkata, sbb:
"Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam telah menceritakan orang-orang yang hendak masuk neraka di mana ketika itu pemimpin memerintahkan mereka untuk memasuki neraka tersebut. Seandainya mereka memasukinya, maka pemimpin itu tidak akan bisa mengeluarkan mereka dari neraka tersebut, padahal mereka memasukinya karena mentaati perintah pemimpinnya, dan mereka mengira bahwa hal itu merupakan kewajiban bagi mereka, tapi mereka bermalas-malasan dalam berilmu. Mereka bermalas-malasan dalam melaksanakan ijtihad (memahami ilmu) dan bersegera dalam melaksanakan perintah yang dapat menimbulkan siksaan dan kehancuran dirinya, tanpa mereka pastikan dan tetapkan terlebih dahulu apakah perbuatan yang mereka lakukan itu digolongkan sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan RasulNya atau tidak."

Jadi dalam hal ini, merujuk kepada tuntunan dari Quran, sunnah dan para ulama, saya setuju bahwa ajaran bahwa kita "harus taat pada qiyadah dengan kondisi apapun" adalah SESAT dan MENYESATKAN. Quran dan sunnah sudah menggariskan secara jelas, pendapat para ulama pun sangat jelas.

Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah di dalam buku Risalah Baiah menjawab pertanyaan "Baiat seperti apakah yang disyariatkan, yang jika ditinggalkan seorang muslim akan berdosa?"

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa makna yang paling mendekati kebenaran menurut beliau dari banyaknya dalil adalah bahwa baiat yang disyariatkan adalah baiat kepada pemimpin pemerintahan Islam. Barang siapa yang mampu berbaiat tetapi dia tidak melaksanakannya maka dia akan berdosa.

Di dalam buku tersebut dikutip pendapat dari kitab tafsir Imam Al Alusy rahimahullah, beliau berbicara tentang istilah "rabithah" di kalangan kaum sufi, beliau berkata: "...di kalangan mereka ada istilah rabithah (keterikatan murid dengan gurunya). Menurut mereka, rabithah ini ditujukan agar hati siap menerima berkah dari Allah. Padahal setahu saya tidak ada dalil dari Rasulullah atau dari khulafaur rasyidin yang mengajarkan seperti itu. Semua yang mereka anggap dalil dalam masalah ini tidak lepas dari cacat. Bahkan dalil mereka sangat lemah..."

Saya bukan menolak 100 % budaya doa Rabithah. Tapi sangat mengandalkan dan menafikan fakta bahwa doa Rabithah masih mendapat kritikan dari para ulama salaf harus diperhatikan. Saya tidak memungkiri banyak kebaikan yang didapatkan dari system dan doa Rabithah ini. Tapi kita harus lebih berhati-hati tentang penggunaannya dan prioritas doa-doa dan system pengkaderan yang kita jalankan.

Jadi kalau begitu pertanyaannya, sampai seperti apa kadar ketaatan yang harus kita berikan kepada pemimpin, kalau tidak bisa total 100%? Jawabannya sudah jelas sesuai dengan rujukan dalil dan fatwa di atas, bahwa selama tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah.

Mungkin timbul lagi pertanyaan, apakah dengan begitu jika setiap ada perintah pemimpin kita harus fahami dulu baru laksanakan? Bukankah itu tidak praktis? Kalau menurut saya, untuk perkara-perkara yang krusial maka kita harus faham, atau paling tidak wajib untuk berusaha faham. Bertanya sampai dapat jawaban yang memuaskan. Memuaskan di sini bukan dalam konteks kepuasan pribadi, tapi 'puas' dalam arti bahwa penjelasan yang ada sudah comply dengan aturan syariat yang lebih tinggi. Sehingga hilanglah syubhat dan zann. Karena seperti yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah bahwa ketaatan kepada ulil amri adalah di bawah jaminan kepada ketaatan kepada Rasul. Ketaatan kepada pemimpin mengikuti ketaatan kepada Rasul, jika sesuai dengan perintah Rasul maka wajib ditaati, jika tidak sesuai maka tidak perlu didengar dan ditaati.

Jadi berhenti bertanya hanya karena qiyadah mengatakan "ini ijtihad, antum wajib taat!!", jelas sangat tidak sesuai dengan tuntunan syariah.

Terus, mungkin anda bertanya maksud semua ini apa? Maksudnya : saya hanya ingin menunjukkan dimana pemahaman ikhwah yang PARAH. Mudah2an ikhwah sekalian bisa koreksi. Kalau antum wa anti mau bantah, hayo! Saya malah senang dapat teman diskusi. Asal jgn pake QALA MURABBI…QALA QIYADAH… tapi pake kata QALA RASUL..QALA SHAHABAT …QALA ULAMA dstnya..

Terus, bertanya lagi : Jadi setelah keluar dari PKS ikbal mau kemana? Jawab : Mungkin saya akan menunggu jamaah musliminnya (setelah saya kehilangan kepercayaan terhadap PKS terutama oknumnya) imam mahdi & nabi Isa AS (saya orang yg percaya secara literal ttg hadits2 yang memberitakan kedatangan imam mahdi) sambil memperbaiki diri terus menerus, belajar bahasa arab, berdakwah semampu saya, ikut talim, tatsqif, dan belajar hadits. Sambil mencermati terus keadaan terkini kaum muslimin serta mendidik anak2 yg shaleh untuk menyongsong kebangkitan islam.

WaLlahu ‘alam…

2 Responses to "Taat? Atau ikut-ikutan?"

  1. aslm .

    hem . bagaimana menurut mas tentang kelebihan untuk ikut jamaah ? apakah mas bakal ikut jamaah yang laen ? atau gmn ?

    ReplyDelete
  2. ini masukan bagus untuk PKS. sudah dicoba menyampaikan ke pihak ybs?

    ReplyDelete